Penulis: Ammi Nur Baits
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Pengertian
Al Hattab (ulama madzhab Malikiyah) mengatakan: “Para ulama kami
(Malikiyah) mengatakan: Jabat tangan artinya meletakkan telapak tangan
pada telapak tangan orang lain dan ditahan beberapa saat, selama rentang
waktu yang cukup untuk menyampaikan salam.” (
Hasyiyah Al Adzkar An Nawawi oleh Ali Asy Syariji, hal. 426)
Ibn Hajar mengatakan: “Jabat tangan adalah melekatkan telapak tangan pada telapak tangan yang lain.” (
Fathul Bari, 11/54)
Hukum
An Nawawi mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya
jabat tangan adalah satu hal yang disepakati sunnahnya (untuk dilakukan) ketika bertemu.”
Ibn Batthal mengatakan: “Hukum asal jabat tangan adalah satu hal yang baik menurut umumnya ulama.” (
Syarh Shahih Al Bukhari Ibn Batthal, 71/50)
Namun penjelasan di atas berlaku untuk jabat tangan yang dilakukan antara sesama laki-laki atau sesama wanita.
Berikut adalah dalil-dalil dianjurkannya jabat tangan:
- Qatadah bertanya kepada Anas bin Malik: “Apakah jabat tangan itu dilakukan diantara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Anas menjawab: “Ya.” (HR. Al Bukhari, 5908)
- Abdullah bin Hisyam mengatakan: “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara beliau memegang tangan Umar bin Al Khattab.” (HR. Al Bukhari 5909)
- Ka’ab bin Malik mengatakan: “Aku masuk masjid, tiba-tiba di dalam masjid ada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian Thalhah bin Ubaidillah berlari menyambutku, menjabat tanganku
dan memberikan ucapan selamat kepadaku.” (HR. Al Bukhari 4156)
Dan beberapa hadis lainnya yang akan disebutkan dalam pembahasan keutamaan berjabat tangan.
Akan tetapi dikatakan bahwasanya Imam Malik membenci jabat tangan.
Dan ini merupakan pendapat Syahnun dan beberapa ulama Malikiyah.
Pendapat ini berdalil dengan firman Allah
ta’ala ketika menceritakan salamnya Malaikat kepada Nabi Ibrahim
‘alaihis salam. Allah berfirman, yang artinya:
“(Ingatlah)
ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: ‘Salaamun’ Ibrahim
menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.” (QS. Ad Dzariyat: 25)
Pada ayat di atas, malaikat hanya menyampaikan salam kepada Nabi Ibrahim
‘alaihis salam
dan mereka tidak bersalaman. Sehingga Malikiyah berkesimpulan bahwa di
antara kebiasaan orang saleh (nabi Ibrahim & para Malaikat) adalah
tidak berjabat tangan ketika ketemu, tetapi hanya mengucapkan salam.
Namun, yang lebih tepat, pendapat Imam Malik yang terkenal adalah
beliau menganjurkan jabat tangan. Hal ini dikuatkan dengan sebuah
riwayat, di mana Sufyan bin ‘Uyainah pernah menemui beliau dan Imam
Malik bersalaman dengan Sufyan. Kemudian Imam Malik mengatakan:
“Andaikan bukan karena bid’ah, niscaya aku akan memelukmu.” Sufyan bin
‘Uyainah mengatakan: “Orang yang lebih baik dari pada aku dan kamu
yaitu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memeluk Ja’far
ketika pulang dari negeri Habasyah. Kata Malik: “Itu khusus (untuk
Ja’far).” Komentar Sufyan: “Tidak, itu umum. Apa yang berlaku untuk
Ja’far juga berlaku untuk kita, jika kita termasuk orang saleh
(mukmin).” (
Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/13949)
Kesimpulannya, bahwasanya pendapat yang paling tepat adalah dianjurkannya
berjabat tangan
antar sesama. Mengingat banyak dalil yang menegaskan hal tersebut.
Sedangkan adanya pendapat yang menyelisihi hal ini terlalu lemah
ditinjau dari banyak sisi.
Keutamaan Berjabat Tangan
- Terampuninya dosa
- Dari Al Barra’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian berjabat tangan kecuali akan diampuni dosa keduanya selama belum berpisah.” (Shahih Abu Daud, 4343)
- Dari Hudzifah bin Al Yaman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya
seorang mukmin jika bertemu dengan mukmin yang lain, kemudian dia
memberi salam dan menjabat tangannya maka dosa-dosa keduanya akan
saling berguguran sebagaimana daun-daun pohon berguguran.” (Diriwayatkan oleh Al Mundziri dalam At Targhib dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah, 525)
- Menimbulkan rasa cinta antara orang yang saling bersalaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maukah
kalian aku tunjukkan suatu perbuatan yang jika kalian lakukan maka
kalian akan saling mencintai?” yaitu: “Sebarkanlah salam di antara
kalian.” (HR. Muslim 93)
Jika semata-mata mengucapkan salam bisa menimbulkan rasa cinta maka
lebih lagi jika salam tersebut diiringi dengan jabat tangan.
- Menimbulkan ketenangan jiwa
- Menghilangkan kebencian dalam hati
- “Lakukanlah jabat tangan, karena jabat tangan bisa menghilangkan
permusuhan.” Tetapi hadis ini didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (Ad Dha’ifah, 1766)
- “Lakukanlah jabat tangan, itu akan menghilangkan kedengkian dalam hati kalian.” (HR. Imam Malik dalam Al Muwatha’ dan didhaifkan oleh Syaikh Al Albani)
Terdapat beberapa hadis dalam masalah ini, namun semuanya tidak lepas dari cacat. Di antaranya adalah:
Terlepas dari hadis di atas, telah terbukti dalam realita bahwa
berjabat tangan memiliki pengaruh dalam menghilangkan kedengkian hati
dan permusuhan.
- Berjabat tangan merupakan ciri orang-orang yang hatinya lembut
Ketika penduduk Yaman datang, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Penduduk Yaman telah datang, mereka adalah orang yang hatinya lebih lembut dari pada kalian.” Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu
berkomentar tentang sifat mereka: “Mereka adalah orang yang pertama
kali mengajak untuk berjabat tangan.” (HR. Ahmad 3/212 &
dishahihkan Syaikh Al Albani,
As Shahihah, 527)
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa
penduduk Yaman adalah orang yang hatinya lebih lembut dari pada para
sahabat. Di antara ciri khas mereka adalah bersegera untuk mengajak
jabat tangan.
Mencium Tangan Ketika Jabat Tangan
Ibn Batthal mengatakan:
“Ulama berbeda pendapat dalam menghukumi mencium tangan ketika
bersalaman. Imam Malik melarangnya, sementara yang lain
membolehkannya.” (
Syarh Shahih Al Bukhari, Ibn Batthal 17/50)
Di antara dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan adalah:
- Abu Lubabah & Ka’ab bin Malik, serta dua sahabat lainnya (yang
diboikot karena tidak mengikuti perang tabuk) mencium tangan Nabi Shallallhu ‘alaihi wa Sallam
ketika taubat mereka diterima oleh Allah. (HR. Al Baihaqi dalam Ad
Dalail & Ibn Al Maqri. Disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath
tanpa komentar)
- Abu Ubaidah mencium tangan Umar ketika datang dari Syam (HR. Sufyan
dalam Al Jami’ & disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa
komentar)
- Zaid bin Tsabit mencium tangan Ibn Abbas ketika Ibn Abbas
menyiapkan tunggangannya Zaid. (HR. At Thabari & Ibn Al Maqri.
Disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
- Usamah bin Syarik mengatakan: “Kami menyambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami mencium tangannya.” (HR. Ibn Al Maqri, Kata Al Hafizh: Sanadnya kuat.”)
Dan masih banyak beberapa riwayat lainnya yang menunjukkan bolehnya
mencium tangan ketika berjabat tangan. Bahkan Ibn Al Maqri menulis buku
khusus yang mengumpulkan beberapa riwayat tentang bolehnya mencium
tangan ketika berjabat tangan.
Satu hal yang perlu diingat bahwasanya mencium tangan ini
diperbolehkan jika tidak sampai menimbulkan perasaan mengagungkan
kepada orang yang dicium tangannya dan merasa rendah diri di
hadapannya. Karena hal ini telah masuk dalam batas kesyirikan. (lih.
Al Iman wa Ar Rad ‘ala Ahlil Bida’, Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Alu Syaikh)
An Nawawi mengatakan: “Mencium tangan seseorang karena sifat
zuhudnya, salehnya, amalnya, mulianya, sikapnya dalam menjaga diri dari
dosa, atau sifat keagamaan yang lainnya adalah satu hal yang tidak
makruh. Bahkan dianjurkan. Akan tetapi jika mencium tangan karena
kayanya, kekuatannya, atau kedudukan dunianya adalah satu hal yang
makruh dan sangat di benci. Bahkan Abu Sa’id Al Mutawalli mengatakan:
“Tidak boleh” (
Fathul Bari, Al Hafizh Ibn Hajar 11/57)
Berdasarkan beberapa keterangan ulama di atas dan dengan mengambil
keterangan ulama yang lain, disimpulkan bahwa mencium tangan
diperbolehkan dengan beberapa persyaratan:
- Tidak sampai menimbulkan sikap mengagungkan orang yang dicium
- Tidak menimbulkan sikap merendahkan diri di hadapan orang yang dicium
- Karena kemuliaan dan kedudukan dalam agama dan bukan karena dunianya
- Tidak dijadikan kebiasaan, sehingga mengubah sunnah jabat tangan biasa
- Orang yang dicium tidak menjulurkan tangannya kepada orang yang mencium (keterangan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah)
Berjabat Tangan Dengan Lawan Jenis
Masalah ini termasuk di antara kajian yang banyak menjadi tema
pembahasan di beberapa kalangan dan kelompok yang memiliki semangat
dalam dunia islam. Tak heran, jika kemudian pembahasan ini meninggalkan
perbedaan pendapat yang cukup meruncing. Sebagian mengharamkan secara
mutlak, sebagian membolehkan dengan bersyarat, bahkan sebagian
berpendapat sangat longgar. Tulisan ini bukanlah dalam rangka
menghakimi dan memberi kata putus untuk perselisihan pendapat tersebut.
Namun tidak lebih dari sebatas usaha untuk menerapkan firman Allah:
“Jika
kalian berselisih pendapat dalam masalah apapun maka kembalikanlah
kepada Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang beriman kepada
Allah dan hari akhir.” (QS. An Nisa’: 59)
Agar kajian lebih sistematis, pembahasan masalah ini akan diperinci menjadi beberapa bagian:
Pertama, Perbedaan pendapat ulama dalam masalah jabat tangan dengan lawan jenis
Ulama Mazhab Hanafi
Diperbolehkan melakukan jabat tangan dengan persyaratan aman dari
munculnya syahwat dari kedua pihak orang yang berjabat tangan. Sehingga
mereka membedakan antara yang tua dan yang masih muda. Berdasarkan
kemungkinan munculnya syahwat.
Ulama Mazhab Maliki
Mazhab ini secara tegas melarang jabat tangan, dan tidak membedakan antara yang sudah tua maupun yang masih muda.
Ulama Mazhab Syafi’i
Sebagian syafi’iyah membolehkan jabat tangan dengan syarat adanya
benda yang melapisi dan aman dari munculnya fitnah atau syahwat yang
mengarah pada perzinaan. Sebagian yang lain melarang secara mutlak. Dan
pendapat kedua ini adalah pendapat mayoritas Syafi’iyah. Di antaranya
adalah An Nawawi dan Ibn Hajar al ‘Asqalani.
Ulama Mazhab Hambali
Dalam mazhab ini ada dua pendapat. Pertama melarang secara mutlak
tanpa membedakan antara yang muda, yang tua dan yang kedua memakruhkan
jika dilakukan dengan yang sudah tua.
Pendapat yang lebih kuat, akan disimpulkan di akhir pembahasan ini.
Kedua, Apakah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berjabat tangan dengan wanita?
- Dari Umaimah binti Raqiqah radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: “Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sekelompok wanita yang membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk masuk islam. Para wanita itu mengatakan: “Wahai Rasulullah, kami
berbaiat (berjanji setia) kepadamu untuk tidak menyekutukan Allah
dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh
anak kami, tidak berbohong dengan menganggap anak temuan sebagai anak
dari suami, dan menaatimu dalam setiap perintah dan laranganmu.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Dalam masalah yang kalian bisa dan kalian mampu.” Para wanita itu mengatakan: “Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih menyayangi kami dari pada diri kami sendiri, mendekatlah, kami akan membaiatmu wahai Rasulullah!
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita (yang bukan mahram), ucapanku untuk seratus wanita itu sebagaimana ucapanku untuk satu wanita.” (HR. Ahmad 6/357 & disahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah, 2/64)
- A’isyah Radhiyallahu ‘anha mengatakan: “Jika ada
wanita mukmin yang berhijrah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau mengujinya, berdasarkan firman Allah dalam surat Al Mumtahanah
ayat 10. “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka… Hai
Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk
mengadakan baiat, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak
akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya,
tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki
mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka
terimalah baiat mereka…” (QS. Al Mumtahanah: ayat 10 s/d ayat 12)
Kata A’isyah radhiyallahu ‘anha: “Wanita mukmin yang
menerima perjanjian ini berarti telah lulus ujian. Sementara jika para
wanita telah menerima perjanjian tersebut secara lisan maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka: ‘Pergilah, karena aku telah menerima baiat kalian’. Dan demi Allah! Tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyentuh tangan wanita (tersebut) sedikitpun. Beliau hanya membaiat dengan ucapan.” (HR. Al Bukhari, 7214)
- Dari Abdullah bin Amr bin al ‘Ash mengatakan: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan wanita ketika baiat.” (HR. Ahmad 2/213 & dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah 530)
Riwayat-riwayat secara tegas menunjukkan bahwa baiat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita adalah secara lisan, dan tidak dengan berjabat tangan. Hadis ini sekaligus menunjukkan bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan jabat tangan dengan wanita asing di selain momen baiat. Hal ini dapat dipahami melalui dua alasan:
Pertama, Karena Baiat adalah peristiwa sangat
penting dalam sejarah hidup seseorang. Momen baiat merupakan momen
yang sangat mendesak untuk diiringi dengan jabat tangan. Karena ini
akan lebih menunjukkan keseriusan dan kesungguhan dalam baiat. Oleh
karena itu, para wanita yang berbaiat kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
mereka mengajak beliau untuk berjabat tangan. Namun demikian, Beliau
menolaknya. Artinya, terdapat faktor pendorong yang sangat kuat bagi
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan jabat tangan dengan wanita asing.
Kedua, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah, manusia yang
ma’shum (terjaga dari kesalahan), sehingga sangat kecil kemungkinan munculnya niat jahat dalam batin Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
jika harus berjabat tangan dengan wanita. Artinya, faktor penghalang
yaitu munculnya niat jahat, sehingga menyebabkan jabat tangan ini
menjadi perbuatan maksiat karena diiringi dengan syahwat tidaklah ada.
Lengkap sudah posisi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
melakukan jabat tangan. Ada faktor pendorong yang kuat dan tidak adanya
faktor penghalang. Namun demikian, beliau tidak bersedia melakukan
jabat tangan dengan wanita asing. Semua ini menunjukkan bahwasanya
bagian dari syariat beliau adalah meninggalkan jabat tangan dengan wanita asing.
Ringkasnya adalah sebagaimana yang dinukil dari Ibn ‘Athiyah dan At Tsa’labi:
ulama sepakat bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah menyentuhkan tangannya dengan wanita yang bukan mahramnya
sama sekali. Dengan adanya nukilan ijma’ ini, diharapkan bisa memutus
segala perselisihan apakah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan jabat tangan dengan wanita ataukah tidak. Dengan demikian, semua hadis yang
secara tidak jelas mengisyaratkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berjabat tangan dengan wanita, dikembalikan pada kesimpulan tegas ini, yaitu bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berjabat tangan dengan wanita asing.
Ketiga, Apakah sikap Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan menunjukkan bahwa perbuatan tersebut hukumnya haram?
Ulama ushul menyatakan bahwa sikap Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
meninggalkan suatu perbuatan tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan
tersebut haram secara mutlak. Tetapi hanya menunjukkan hukum makruh.
Al Jas-shas mengatakan: “Pendapat kami tentang sikap Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan sama dengan pendapat kami tentang status perbuatan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam semata.” (
Al Ushul, 1/210)
As Syaukani mengatakan: “Sikap Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan statusnya untuk diikuti sebagaimana sikap beliau dalam melakukan suatu berbuatan.”
Artinya, semata-mata perbuatan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menunjukkan hukum sunah, sebagaimana semata-mata sikap Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
meninggalkan suatu perbuatan hanya menunjukkan hukum makruh. Pendapat
ini dinisbahkan kepada Imam As Syafi’i, oleh karena itu banyak diikuti
oleh ulama mazhabnya. Di antaranya adalah Al Juwaini, Abu Hamid Al
Ghazali, As Shairafi. Pendapat ini juga yang dipilih oleh sebagian
Hanafiyah dan adalah satu pendapat Imam Ahmad yang kemudian dipilih
oleh Abul Hasan At Tamimi, Al Fakhr Isma’il, dan Abu Ya’la Al Farra’.
Abu Syamah Al Maqdisy mengatakan: “Ini adalah pendapat para peneliti
di antara ahli hadis. Penulis kitab Al Hawi mengatakan: “ini adalah
pendapat kebanyakan ulama’” (
Af’alur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, 66). (lihat Keterangan di atas dalam
Mushafaha Al Ajnabiyah fi mizanil Islam, 67)
Kesimpulan:
Berdalil dengan hadis-hadis yang menegaskan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak berjabat tangan dengan wanita asing tidak cukup untuk menghukumi
haramnya berjabat tangan dengan wanita. Karena semata-mata Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
meninggalkan suatu perbuatan hanya menunjukkan hukum makruh. Untuk
menegaskan hukum haram, memerlukan dalil khusus yang menegaskannya.
Lalu, apakah ada dalil tegas yang melarang perbuatan tersebut?
Keempat, Hadis-hadis yang secara tegas melarang jabat tangan dengan lawan jenis:
Pertama, Dari Ma’qil bin Yasar
radhiyallahu ‘anhu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik dari pada dia menyentuh tangan wanita yang tidak halal baginya.” (HR. At Tabrani dalam
Al Mu’jam Al Kabir, 20/212/487 & Ar Ruyani dalam
Al Musnad, 2/323/1283)
Hadis ini dibawakan oleh At Thabrani dengan sanad berikut: Dari Abdan
bin Ahmad, dari Ali bin Nashr, dari Syaddad bin Said, dari Abul Ala’,
bahwasanya Ma’qil bin Yasar mengatakan: Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: …
Andaikan hadis ini shahih maka cukup untuk menjadi pemutus
perselisihan ulama dalam masalah ini. Sehingga siapapun yang
berpendapat sebaliknya, layak untuk digelari dengan pengekor hawa
nafsu. Namun hadis ini memiliki cacat. Berikut keterangan selengkapnya:
Keterangan ulama tentang status hadis ini:
Ibn Hajar Al haitami mengatakan: “Sanadnya sahih.” (
Az Zawajir, 368)
Al Hafizh Al Haitsami mengatakan: “Perawinya adalah para perawi kitab shahih.” (
Al Majma’uz Zawaid, 7718)
Syaikh Al Albani mengatakan: “Hadis ini sanadnya jayyid” (
As Shahihah, 1/447)
Muhammad Abduh Alu Muhammad Abyadh menjelaskan secara lebih
terperinci sebagai berikut: “Semua perawi hadis ini adalah perawi yang
terdapat dalam Al Bukhari & Muslim. Kecuali Syaddad bin Sa’id.
Beliau hanya terdapat dalam shahih muslim dan hanya meriwayatkan satu
hadis saja dalam shahih Muslim. Sebagian ulama, semacam Ahmad dan Ibn
Ma’in menganggap
Tsiqah perawi ini. Namun Al Bukhari mengatakan tentang perawi ini: “
Shaduq namun hafalannya agak rusak.”… Ibn Hibban mengatakan: “Terkadang keliru.”
Sedangkan riwayat Syaddad bin Sa’id menyelisihi riwayat perawi yang lebih tsiqah, sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh Basyir bin Uqbah dari Abul ‘Ala, dari Ma’qil bin Yasar
radhiyallahu ‘anhu, secara mauquf (perkataan Ma’qil bin Yasar dan bukan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Ma’qil mengatakan: “Kalian bersengaja membawa jarum kemudian
menusukkannya ke kepalaku, itu lebih aku sukai dari pada kepalaku
dimandikan oleh wanita yang bukan mahram. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al
Mushannaf 3/15/17310)
Sementara Basyir bin Uqbah adalah perawi yang terdapat dalam shahih
Al Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu, riwayat Basyir bin Uqbah lebih
didahulukan dari pada riwayat Syaddad bin Sa’id.” (
Mushafahah Al Ajnabiyah hal. 30, dikutip dengan sedikit penyesuaian)
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa riwayat di atas bukanlah hadis Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi perkataan sahabat Ma’qil bin Yasar
radhiyallahu ‘anhu.
Kedua, Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ditetapkan
(ditakdirkan) bagi setiap anak Adam bagian dari perbuatan zina. Pasti
dia alami dan tidak bisa mengelak. Dua mata zinanya melihat, dua
telinga zinanya mendengar, lidah zinanya berbicara, tangan zinanya
menyentuh, kaki zinanya melangkah, hati zinanya berangan-angan, dan
kemaluan yang akan membenarkan atau mendustakan itu semua.” (HR. Muslim 6925)
Beberapa keterangan untuk hadis ini:
An Nawawi mengatakan: “Bahwa setiap anak Adam ditakdirkan untuk
melakukan perbuatan zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina
sesungguhnya, yaitu memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan. Di antara
mereka ada yang zinanya tidak sungguhan, dengan melihat hal-hal yang
haram, atau mendengarkan sesuatu yang mengarahkan pada perzinaan dan
usaha-usaha untuk mewujudkan zina, atau dengan bersentuhan tangan, atau
menyentuh wanita asing dengan tangannya, atau menciumnya…” (
Syarh Shahih Muslim, 8/457)
Ibn Hibban memasukkan hadis ini dalam kitab Shahihnya. Beliau
meletakkan hadis ini di bawah judul: “Bab Penggunaan istilah zina untuk
tangan yang menyentuh sesuatu yang tidak halal.” (
Shahih Ibn Hibban, 10/269)
Dalam kesempatan yang lain, Ibn Hibban memberikan judul: “Bab,
digunakan istilah zina untuk anggota badan yang melakukan suatu
perbuatan yang merupakan cabang dari perzinaan.” (
Shahih Ibn Hibban, 10/367)
Penamaan judul Bab dalam kitab shahihnya yang dilakukan Ibn hibban di
sini menunjukkan bahwa beliau memahami bahwa kasus pelanggaran yang
dilakukan anggota tubuh yang mengantarkan zina adalah bentuk perbuatan
zina. Karena penamaan judul bab para penulis hadis adalah pernyataan
pendapat beliau.
Al Jas-shas mengatakan: “Digunakan istilah zina untuk kasus ini dalam
bentuk majaz (bukan zina sesungguhnya dengan kemaluan, -pen).” (
Ahkam Al Qur’an, 3/96)
Kesimpulannya, istilah zina bisa digunakan untuk semua anggota badan
yang melakukan pelanggaran, karena perbuatan tersebut merupakan
pengantar terjadinya perzinaan. Sedangkan zina yang hakiki adalah zina
kemaluan.
Dengan hadis kedua ini (hadis Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu)
dapat disimpulkan bahwa jabat tangan dengan lawan jenis yang bukan
mahram dengan disertai syahwat adalah perbuatan haram baik oleh orang
muda maupun tua, karena perbuatan ini termasuk bagian perbuatan zina.
Ketiga: Penjelasan Sinqithi yang berdalil dengan perintah untuk menundukkan pandangan.
Allahu a’lam…
***
Artikel
www.muslimah.or.id